Minggu, 25 Agustus 2019

Conversations of The Mystics: Book 7




Percakapan antara seorang guru dan muridnya, Si Om dan Si Dul, Jilid ke-7.

Percakapan-percakapan ini mengandung pesan-pesan tersembunyi. Saya sengaja tidak menuliskan pesan-pesan itu. Hanya yang jeli dan berpikir yang mampu melihat dan memahaminya. Karena Pencerahan hanya datang bagi mereka yang berpikir.




Catatan Bekas

“Om, saya perhatikan ada beberapa murid Om yang kesulitan menerima pengajaran dari Om. Kenapa ya?”

“Dul, ingatkah kmu sewaktu pertama kali masuk sekolah tahun ajaran baru?”

“Ingat, Om.”

“Teman-teman sekelasmu yang memakai seragam baru, tas baru ada yang tidak... tapi yang pasti buku catatan mereka pasti baru, masih kosong, bersampul baru yang rapih. Betul, Dul?”

“Betul, Om.”

“Tidak ada satu pun yang membawa buku yang sudah penuh dan lusuh. Karena bagaimana bisa memulai menerima ilmu di kelas baru dengan buku catatan yang sudah penuh coretan?

Jikapun kamu tinggal kelas dan mengulang kelas yang sama, saya minta jika ini adalah kelas saya, maka bawalah buku catatan yang baru dan kosong!
Ini syarat mutlak.

Mereka yang kesulitan menerima pengajaran saya adalah mereka yang mencatat di buku catatan yang sudah penuh.”






Serba Salah

“Om, panas nih... saya buka jendelanya ya.”

“Ya.”

“Wah... tapi anginnya kenceng banget... nyamuk juga pada masuk lagi... saya tutup lagi aja deh.”

“Ya, terserah kamu aja, Dul. Ditutup salah, dibuka salah....
Itulah manusia, selalu minta dibukakan pintu rizki dan hidayah oleh Tuhan... begitu dibuka lebar malah mengeluh.”

“Ah si Om... baru aja maap-maapan lebaran sehari udah mulai ngerjain saya lagi...”

“Eh... bener ini Dul...
Kalau jendela itu dibuka, ya banyak yang masuk. Nggak hanya yang kamu mau aja. Kamu ga bisa milih-milih.

Begitupula dengan rizki dan hidayah... datangnya dalam berbagai wujud. Kamu nggak bisa milih-milih.

Tapi manusia maunya yang enak aja. Yang nggak enak ditolak. Tuhan tidak pernah membatasi mereka, tapi manusia yang membatasi Tuhan.”






Layak Atau Tidak Layak?

“Dul, coba kamu tuliskan semua keinginanmu di selembar kertas ini.”

“Baik, Om...”

(Setelah beberapa menit.)
“Sudah nih Om... “

“Bagus... sekarang remas dan buang kertas itu.”

“Lah... kok dibuang, Om?”

“Karena kalau kamu LAYAK mendapatkanya, kamu tidak akan merasa perlu menuliskannya, kan, Dul?”

“Mmmmm... saya nggak ngerti maksudnya, Om?”

“Saya tanya kamu, Dul.... perlukah kamu menulis ingin makan bakso?”

“Tidak perlu lah, Om... saya kan udah BIASA makan bakso kapan saja saya mau...”

“Nah itu maksud saya, Dul.”






Tuhan Tidak Laku

“Saya mau menulis buku ah, Om... biar saya terkenal nanti.”

“Buku mengenai apa, Dul?”

“Mengenai yang saya pelajari dari Om... yang membuat saya bahagia, merdeka, hidup tanpa rasa takut dan penuh rasa syukur... maka saya ingin menulis mengenai mencari Tuhan..”

“Yah... itu sih nggak bakal bikin kamu terkenal, Dul...”

“Lah.... Emangnya topik apa yang bakal laku, Om?”

“Mengenai bagaimana mencari duit, bukan mencari Tuhan.”






Intinya

“Intinya adalah makan. Mau makan apa, itu urusanmu.

Intinya adalah pakaian. Mau pakai kaos atau kemeja, itu urusanmu.

Intinya adalah Tuhan. Mau bagaimana kamu menyembahnya, itu urusanmu.

Mengerti, Dul?

Tidak mengerti? Itu juga urusanmu.”






Masak

“Bila diibaratkan kelas memasak, maka beginilah yang terjadi:

Di Kelas lain pada umumnya:

Mereka memberikan bahan utama dan 10 macam bumbu. Kemudian mereka mengajarkan langkah demi langkah apa saja bahan yang diolah lebih dulu dan yang kemudian, juga bagaimana caranya.

Di kelas saya:

Saya memberikan bahan utama, dan 100 macam bumbu. Kemudian saya memintamu memejamkan mata dan hanya mempercayai hatimu untuk memasak. Tidak ada cara, tidak ada urutan.

Saya hanya akan memandumu untuk mengasah, mengutamakan, mempercayai hatimu sepenuhnya.”


“Hmmm... gitu ya Om...
pantesan aja nggak ada yang belajar sama Om di sini.... sepi... cuma saya doang...”

“Tapi kamu jadi pinter masak kan, Dul?...
Dan setiap hari masakanmu nggak ada yang sama...”

“Iya sih Om... saya juga bingung sendiri kok bisa gitu ya....”

“Itu istilahnya masak sama Tuhan’, Dul.”






Kesemutan

(Setelah setengah jam meditasi, Dul melihat si Om beranjak dari tempatnya ke luar ruangan.

Si Om hanya berdiri saja sambil memejamkan mata menghadap langit. setelah kira-kira 5 menit kemudian si Om masuk lagi dan melanjutkan meditasinya.

Setelah 1 jam berlalu dan meditasi berakhir, Si Dul bertanya kepada Om.)


"Om, setiap setelah 30 menit meditasi, saya perhatikan om keluar untuk berdiri menghadap langit sambil terpejam. Itu apa, Om? ada ilmu baru ya? Tolonglah saya diajarkan ilmunya, Om..."

"Saya kesemutan, Dul…"






Meditasi

“Om, apakah ada bentuk kegiatan atau ritual yang sama dengan meditasi di setiap ajaran agama?”

“Meditasi pada akhirnya adalah mendiamkan diri, fisik dan pikiran secara total.

Jika ada ritual yang katanya mirip dengan meditasi tapi mulut masih komat-kamit, ada doanya, ada gerakannya, dan otak masih dibuat berpikir, itu bukan meditasi.

Nah, dengan keterangan itu, maka coba jawab sendiri deh pertanyaanmu tadi, Dul.”






Burung

(Suatu hari ada sepasang orang tua berkonsultasi ke si Om mengenai anak mereka yang bermsalah. Si Dul nguping dari ruangan sebelah.

Setelah tamunya pulang, si Dul ngomel ke si Om.)


“Anak-anak seharusnya dibiarkan mengekslor bakat mereka, bukannya dilarang-larang gitu…!
Dan anak-anak juga seharusnya disemangati untuk berani mencoba... mumpung masih anak-anak, masih luas kesempatannya!"

“Betul, Dul… Adalah orang bodoh melarang burung terbang.
Lebih bodoh lagi, burung yang tidak ingin terbang.”






Mikir Yang Penting

“Om, mengapa saya lihat Om selalu tenang dan tidak pernah khawatir?”

“Saya adalah orang yang hanya mikir, Dul.

Perginya gimana. Pulangnya gimana nggak saya pikirin.

Saya hanya mikir bagaimana kalau berhasil, nggak pernah mikir gimana kalau gagal.

Bagaimana kalau menang, nggak mikir gimana kalau kalah.”






Tuhan Saja

(Suatu hari si Om kedatangan tamu. Mereka adalah segerombolan Santri dari pesantren dari kampung sebelah. Mereka ingin mendalami ajaran agama kepada Om.

Sebelum memulai pembicaraan, si Om mengawali dengan;…)


“Jangan bicara agama dengan saya, kita bicara mengenai Tuhan Saja.”






Bahasa

(Pondokan si Om selalu ramai didatangi orang-orang yang belajar. Ada yang dari kelompok orang tua, juga dari kelompok anak-anak.

Si Om membei petuah kepada si Dul…)

“Dul, selain bahasa yang kau gunakan sekarang, bahasa apa lagi yang sebaiknya kau pejalari?

Adalah bahasa nenek moyangmu, agar kau memahami kearifan mereka.
Dan bahasa anak-cucumu, agar kau bisa mewarisi kearifanmu.”






Sudah Bahagia

(Suatu hari si Dul menghadiri sebuah pengajian di masjid di kampung bawah.)

Ustad: “Mari kita berdoa agar kita selalu diberi kebahagiaan dan rizki...”

Dul: “Alhamdulillaaaaah...”

Ustad: “Bukannya Amin kok malah Alhamdulillah, Dul?"

Dul: “Saya sedang merasa berbahagia, dan berkelimpahan, Tad... makanya saya ucapkan terima kasih.”

Ustad: “Lalu, apa doamu, Dul?”

Dul: “Alhamdulillaaaaaah…”






Berani

(Si Om sedang memberikan motivasi kepada muid-muridnya.)

Om: “Ayo, kalian harus berani!
Berani melangkah! Berani berbuat! Jangan ragu! Jangan ada rasa takut!
Pokoknya BERANI!”

Murid 1: “Lah… tapi Om... kadang kita ada rasa ragu juga kan dalam menjalani hidup ini... kalau gitu gimana, Om?”

Om: “Beranilah menghadapi rasa ragu!”

Murid 2 :“Hmmm…. Kadang takut juga, Om…”

Om: “Beranilah menghadapi takut!”

(... ... ... …)

Hanya si Dul yang paham. Yang lainnya bengong…






Retorik

“Pelajaran hari ini: Retorik.

Pertanyaan Retorik adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Maksudnya lebih ke pernyataan, bukan pertanyaan. Walaupun diucapkan dengan intonasi tanya. Biasanya bermuatan sarkastis.

Contoh:
Setelah melihat seorang yang menabrak orang lain dalam kondisi berkendara yang sangat perlahan.
‘Itu orang matanya buta ya?’

Contoh lain:
Setelah makan 2 piring penuh.
‘Kamu nggak pernah kenyang ya?’


Nah sekarang giliran kamu kasih contoh pertanyaan retorik, Dul.”


“Om ngoceh terus apa nggak capek ya?”

“Koplak kamu, Dul!”






Self-Healing

(Suatu hari ada yang minta si Om melakukan penyembuhan jarak jauh (bahasa kerennya, distant healing) padanya. Si Om meng-iya-kannya.)

(Keesokan harinya orang itu memberi kabar bahwa penyakitnya sudah sembuh. Dan ia berterima kasih kepada si OM. Si Om ikut berbahagia dan mendoakannya.)

(Kejadian yang sebenarnya adalah:)


Si Om tidak melakukan apa-apa untuknya. Si Om lupa dan tertidur malam itu. Tetapi tanpa disadarinya orang itu telah melakukan Self-Healing dan sembuh.

Niatnya sendirilah yang menyembuhkannya.
Inilah bukti bahwa sesungguhnya tidak ada Healing, yang ada hanya Self-Healing.

----------
Kisah di atas diambil dari kisah nyata penulis.






Segera Ke Surga

(Suatu hari di Dul ditegur keras oleh seorang Ustad)

“Dul! Awas nanti akan ada hisab atas semua amal ibadahmu, yang akan menentukan apakah nanti kamu masuk surga atau neraka!!”

“Iya Tad…. saya percaya.... Mohon maad atas kesalahan saya, dan terima kasih atas tegurannya. Makanya saya masih banyak belajar untuk hidup lebih baik.

Dengan segala kerendahan hati, saya mengalah…Silakan Pak Ustad ke sorga duluan...
Saya doakan agar disegerakan…”






Alamiah

“Om, semua yang terjadi di alam ini berlaku secara alamiah, kan?”

“Tul, Dul.”

“Gempa bumi, banjir, tsunami, semuanya alamiah, kan Om?”

“Tul, Dul.”

“Bahkan bila seorang anak berbuat nakal atau salah, juga alamiah, kan Om?”

“Tul, Dul.... 
emang napa sih kamu tanya-tanya gitu?”

“Engga apa-apa Om...
cuman... tadi saya pinjem sendal Om, saya pake pergi ke balai RW di bawah sono... trus itu sandal dicolong orang.

Kejadiannya alamiah banget Om..”


“... ... ... ... kepalamu peyang juga alamiah, Dul…”






Bosan

“Kemanapun kau menghadap ada wajah Tuhan di situ. Begitu esensinya, Dul.”

“Wow... Tuhan ada di semua tempat ya Om?!”

“Iya Dul, di semua makhluk."
(Wah si Dul ngerti apa yang saya ajarkan ini.)

“Lah kalau yang kita lihat sehari-hari hal yang sama itu-itu aja... gimana Om?... bosen kan.... Berarti Tuhan itu juga bisa membosankan ya...”

“Ya bete juga sih.... seperti kamu Dul yang tiap hari selalu ada di sini.
Dasar peyang... kirain ngerti lu…”






Aurat

“Om, sebagai umat yang taat, maka kita diwajibkan menutup aurat kita.)

“Dul… Kita diwajibkan menutup aurat. Saya setuju itu.
Dan aurat paling utama yang harus ditutup duluan adalah, bacot mereka dulu! 
Percuma nutup sana-sini tapi masih ngomongin yang nggak penting.”






Pisang - Nanas

“Dul, bagaimana merubah buah pisang menjadi nanas?”

“Wah… ajaib banget… mana bisa begitu, Om?!”

“Bisa Dul… begini…. 
Goreng pisangnya dengan minyak panas-panas, trus kasihin ke anak balita. Ntar si anak megang pisang gorengnya sambil teriak, ‘Nanas!... nanas!…’

“Ah si Om.. becanda aja… haha….”

“Nah Dul…. Sekarang, bagaimana merubah Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang menjadi Yang Penghukum dan Ditakuti?”

“Ini sih lebih aneh lagi… mana bisa Tuhan dirubah-rubah?!”

“Bisa Dul… Mirip seperti sebelumnya. Goreng dengan kebodohan, bumbui dengan surga dan neraka, lalu berikan ke “anak kecil.”






Pura-Pura Hidup

“Jika hidup ini sebuah pentas sandiwara, maka tahukah kalian, peran apa yang paling susah dilakoni tapi hampir semua manusia melakoninya?”

“Peran pura-pura menjadi pahlawan, Om?”

“Bukan.”

“Peran pura-pura menjadi orang suci, Om?

“Bukan, Dul.”

“Ah si Om… Peran pura-pura mati kali, Om?”

“Bukan juga Dul. Kalau pura-pura mati sih paling gampang.

Jawabnya adalah: Berpura-pura hidup!”

“Hah???”

“Mengapa? Coba saja perhatikan di sekitarmu, Dul. Dan lihat juga dirimu sendiri.
Apakah kamu sedang hidup dengan menjalankan segala sesuatu yang SESUAI jati dirimu? Fitrahmu?
Jika tidak, maka kamu termasuk mereka yang mati tapi pura-pura hidup.”






Kurang Banyak

(Si Dul sedang membaca sebuah kalimat peribahasa)

“Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga.”


(Si Om nyeletuk dari jauh)

“Susunya kurang banyak, Dul!”






Tanpa Syarat

“Om, kenapa sih Om enggak beken kayak orang-orang lain? Muridnya Om cuma sedikit."

“Karena yang saya sampaikan adalah berita jujur apa adanya.
Lah kamu kenapa mau belajar sama saya, Dul? Saya kan nggak beken... di sini sepi... kenapa kok kamu masih di sini, Dul?”

“Hmm... karena saya di sini diterima apa adanya, Om… Nggak pake syarat apa-apa.”






Senyum

“Setiap manusia, kalau senyum akan terasa hangat di hati yang melihatnya.
Maka apa pun kondisimu, tersenyumlah. Itulah pancaran energi / vibrasimu. Dan akan mengundang mereka yang bervibrasi sama.

Hmm.... tapi… jangan maksain senyum pas lagi konsen di toilet ya...
ngga enak lihatnya, Dul!”






Vibrasi

Om: “Vibrasi = getaran. Manusia memancarkan vibrasinya ke alam. Bagaimana menghasilkan vibrasi?

Dul: “Suhu rendah.”

Om: “Itu sih menggigil, Dul!…. Kapan pahamnya ni bocah…”






Ilmu Vibrasi

(Si Dul menerapkan Ilmu Vibrasi untuk mendatangkan uang.

Dia ambil selembar uang Rp 100,000 dan diletakkannya di atas mesin potong rumput yang tengah bergetar.

Dengan yakinnya ia berkata,) 

“Vibrasi yang terjadi pada uang ini akan mendatangkan uang-uang yang lain yang lebih banyak, Om..”


(Sore harinya, pekarangan rumput depan rumah si Om sudah bersih rapih terpotong.
Di tempat si Dul meletakkan uang itu, di atas rumput, hanya ditemukan secarik kertas bertuliskan,)
“Terima kasih duitnya, ya Pak.

Ttd,
Jono, tukang potong rumput."

(Si Om geleng-geleng kepala….)

“Dasar si Dul….!”






Dimana?

“Om, sebenarnya Tuhan itu ada dimana?”

“Di hatimu.”

“Ah si Om ditanya serius kok jawabnya malah becanda kaya anak jaman now gitu sih?!”


(Si Om memandang kasihan pada si Dul).






Takut Kabur

(Sejak percakapan itu, tampak si Dul selalu gelisah sambil meletakkan tangannya di dadanya.)

“Kenapa kamu gelisah gitu sih, Dul?
Dan kenapa dadamu? Sakit?”

“Om... Tuhan ada di sini nih....”
(sambil nunjuk ke dadanya)

“Trus knapa, Dul?”

“Saya takut Dia kabur....”


(Si Om hanya geleng2 kepala.... 
Emang dia kira Tuhan itu yang kayak di film Alien???)






Tidak Setuju

“Apa tanggapan Om kalau ada yang membaca tulisan ilmu Om tidak setuju dengan tulisan Om?"

“Saya akan balik bertanya padanya, Dul, ‘siapa yang suruh kamu membacanya?’

Begitu pula dengan kitab suci. Siapa yang menyuruh kamu membacanya dan harus mempercayainya begitu saja?

Apa pun itu walaupun dibalut kemegahan sakralnya agama, layak dipertanyakan alasan dan kebenarannya. Untuk dirimu sendiri. Bukan untuk orang lain.”






Susu Basi

(Si Dul datang sambil ngomel sendiri)

“Gimana sih?? Kok air susu dibalas air tuba?!”

“Kamu ngasih susu basi sih Dul…”






Bohong

“Om, bolehkah kita berbohong?”

“Boleh…”

“Oh? Kapan Om pernah berbohong?”

“Barusan.”






Keluar?

“Om, bagaimana caranya masuk surga?”

“Kapan kamu keluarnya, Dul?”






Mirip?

(Penutup kepala udah sama, baju udah sama, celana udah sama, alas kaki udah sama, semua warnanya juga sama. Potongan rambut sama, cara jalan sama, gaya bicara juga udah sama.)

“Dul, akhir-akhir ini tampilanmu semakin mirip saya sih?”

“Biar saya tenang, damai, berilmu, dan bijak serta arif seperti Om.”

“Untung saya bukan presiden atau raja... bakal susah kamu niru saya.
Atau perempuan... gimana kamu nirunya ntar, Dul....??
dasar koplak…”






~ Erianto Rachman ~

Tidak ada komentar: