Senin, 12 Februari 2018

Conversations of The Mystics: Book 3




Percakapan antara seorang guru dan muridnya, Si Om dan Si Dul, Jilid ke-3.



Sejak saya membawa tulisan saya ke bentuk dialog antara Om dan Dul, atau guru dan muridnya ini, imajinasi saya membawa saya meliuk ke kiri dan ke kanan. Kadang saya tersenyum dan tertawa sendiri atas perilaku dan kelakar si Dul dan si Om, Mereka hidup di dalam benak saya, seolahnya mereka bukanlah khayalan, melainkan memori.

Kedua tokoh ini menjadi sangat dekat dengan saya. Kini saya menulis mengenai mereka karena ada kerinduan kepada mereka. 

Selamat menikmati.



Haus

(Di satu hari yang sangat panas, si Dul datang terengah-engah ke pondok si Om.)

"Aduh... capek dan haus.... Ingin rasanya minum sirup dingin dengan es di dalamnya, ditambah agar-agar, selasih, kolang-kaling... hmmmm... hausnya!"

"Sini Dul, nih ada air putih, kamu minum ini dulu."

(Si Dul sudah sangat haus menerima air pemberian si Om dan meminumnya sampai habis.... segelas... dua gelas....)

"Ah!! segarnyaaaa!"

"Tadi kamu membayangkan mau minum Es... apa Dul?"

"Lupa Om..."

"Hmmm... Es, sirup, selasih, kolang-kaling, semua itu keinginan egomu. Yang dibutuhkan oleh tubuhmu esensinya adalah air.

Maka penuhilah kebutuhan esensimu terlebih dahulu sebelum yang lainnya. Karena yang lainnya hanya pelengkap."



--------------------
Pesan:

Dahulukan yang esensial di dalam hidupmu. Tuhan ada di balik yang esensial.








Tarif Ceramah

"Dul, kamu bantu saya mempersiapkan acara ceramah saya ya..."

"Siap, Om. Saya akan mulai siapkan formulir pendaftarannya.
Berapa tarif iuran yang akan dikenakan nanti, Om?"

"Yang sudah bangun, Gratis.
Yang masih tidur, Rp 10 juta per orang."



--------------------
Pesan:

Dogma dan doktrin membatasi seseorang dalam membuka pikiran seluas-luasnya untuk menerima pengetahuan illahi Yang Maha Luas. Memberikan pengetahuan kepada mereka yang masih terbelenggu dogma dan doktrin adalah tindakan yang sia-sia. 







Bakso Sakti

"Om, Pak Otong yang tinggal di kampung di bawah sana minta warung bakso barunya didoakan supaya laku, banyak pembeli."

"Oh gitu... "

(si Om mengambil segelas air putih dari teko air minumnya, dan memberikannya kepada si Dul.)

"Nih air ini kamu kasih ke Pak Otong. Suruh dia minum dan berdoa."

(Si Dul menerima segelas air yang diberikan oleh si Om dan membawanya pergi.

Oleh karena kampung tempat tinggal Pak Otong terlalu jauh, maka si Dul menitipkan air tersebut ke Si Paluy.)

"Luy, ini ada air berisi doa-doa dari Om, untuk diberikan kepada Pak Otong. Tolong minta Pak Otong meminumnya dan berdoa agar warungnya laku."

(Si Paluy pun merasa tempat tinggal Pak Otong terlalu jauh, ia menitipkannya kepada si Jono.)

"Jon, ini ada titipan air ajimat dari mata air di atas gunung tempat tinggalnya Mbah Guru Sakti, ini sudah diisi doa-doa keramat, dan sudah dipuasakan 7 hari 7 malam. Tolong berikan ke Pak Otong di kampung sana. Bilang ke dia, air ini harus diminum dan kalau perlu dipakai mandi supaya warungnya laku."

(Si Jono pun pergi ke rumah Pak Otong dan memberikan segelas air itu padanya beserta pesan-pesan panjang yang diterimanya.)

(Sebulan kemudian si Dul menerima kabar dari Pak Otong dan menyampaikannya ke Si Om.)

"Om, Pak Otong menyampaikan terima kasih kepada Om, dia bilang airnya manjur, warungnya laku keras!"

"Alhamdulillaaaaaaaaaah.... Dia minum dan berdoa?"

"eeeeh... hmm... gini... Om...
Dia bilang, air itu dia minum sedikit, lalu dia pakai mandi pula. Lalu dia campur ke dalam air di dalam bak air yang besar. Dia puasa 7 hari 7 malam, kemudian air yang banyak itu dia pakai untuk mencuci seluruh warungnya sampai bersih. Lalu air itu pula dia pakai sebagai campuran cat, dan dia cat dinding warungnya sampai seperti baru lagi.

dan... eh... hhmm.. dia juga buat kuah baksonya dengan air yang sama, dan dia bilang ke pelanggannya bahwa bakso itu sudah dicampur air dari mata air 7 tingkat di gunung sini, yang sudah didoakan oleh Mbah Guru Sakti. Sehingga Baksonya jadi bakso special.

dan.. hmm. eh.. dia namakan baksonya, Bakso Gunung Sakti."

"EAAALAAAAAHHHH...."



--------------------
Pesan:

Sebagian besar manusia memiliki kesadaran dan kepahaman yang rendah, mereka dengan sangat mudah terjebak dalam persepsi atau sugesti. Mereka menjadikan persepsi itu kenyataan mereka. Sangat mudah dikendalikan, dipengaruhi, dan dihasut menggunakan persepsi itu. Mereka tidak mampu melihat yang esensial.







Biji Pohon Jeruk

(Di suatu hari, Dul dan Om sedang menikmati makan buah jeruk bersama-sama.)

“Jeruk ini lezat... segar, manis, bila digigit berasa padat!”

“Iya betul, Dul... 
Sekarang coba kau tanam kulitnya, akankah tumbuh pohon jeruk?”

“Tidak, Om... kulit jeruk tidak mungkin tumbuh menjadi pohon jeruk.”

“Jika kau tanam daging buahnya? Akankah tumbuh menjadi pohon?”

“Tidak juga lah, Om...”

“Jika jeruk itu kau peras dan kau ambil airnya yang manis lalu kau tanam, apakah akan tumbuh menjadi pohon jeruk?”

“Tidak, Om..”

“Apa yang bisa tumbuh bila kau tanam?”

“Bijinya, Om!”

“Betul!
Tumbuhnya pohon jeruk ini ditentukan oleh bijinya, bukan badan buahnya, bukan airnya, bukan pula kulitnya. Tetapi bijinya.
Lebih dari itu, kualitas pohon yang tumbuh nanti juga ditentukan dari bijinya.
Coba kau gigit biji jeruk ini, Dul.”

“Ih, pahit, Om!”

“Ya, biji itu pahit, Dul. Tetapi dari yang pahit itulah pohon dapat tumbuh. Biji inilah esensi dari hidup si pohon. Bukan dari rasanya yang manis, bukan dari bentuknya yang cantik, bukan dari kulitnya mempesona, melainkan dari bijinya yang pahit yang tersembunyi di dalam.

Manusia pun begitu. Kualitas manusia bukan ditentukan dari wajahnya yang cantik maupun buruk, bukan dari bentuk badannya yang tinggi gagah atau pendek kerempeng, bukan pula dari hartanya yang banyak ataupun sedikit. Tetapi dari esensinya, yaitu hatinya yang di dalam.

Menyadari yang esensial pada diri sendiri dicapai dengan cara belajar, menerima cobaan hidup, dengan kesabaran, ketekunan, dan ketabahan. Rasanya pahit seperti biji buah jeruk itu. Tetapi betapa penting artinya bagi seseorang, bila ia menyadarinya.

Dan bila seseorang telah mati, bila kualitas hatinya baik, ia akan terus hidup di hati orang-orang lain yang pernah mengenalnya. Mereka akan mengenang betapa baiknya, cantiknya, dan gagah perkasanya orang itu, dan menauladani sikap serta ucapannya sampai kapan pun.”







Nasi Uduk

(Suatu hari Om mendapati si Dul tengah melamun sambil memandangi nasi uduk di hadapannya yang baru satu suap ia makan.)

“Kok ngelamunin nasi uduk, Dul?”

“Eh... iya nih Om... nasi uduk ini enak banget... saya sampai takjub dan terharu sampai mau nangis... kok bisa enak begini ya?”

“Kamu beli nasi uduk itu di warungnya mpok Nunung yang di sana itu ya?”

“Iya, Om, bener.”

“Kamu mau tau kenapa bisa enak banget begitu?”

“Mau Om, penasaran nih...”

“Si Mpok Nunung memasak nasi uduk itu berdua.”

“Sama siapa, Om?”

“Tuhan.

Tapi akan lebih enak lagi kalau kamu beliin saya juga.”



--------------------
Pesan:

Karya terbaik adalah karya yang dikerjakan bersama Tuhan dan dipersembahkan untuk Tuhan.







Bahasa Rasa

(Pelajaran mengenai rasa baru saja selesai. Murid-murid pada bubar pulang ke rumah mereka masing-masing.)

(Dul memberi salam hormat pada Om)

“Terima kasih atas pelajaran hari ini, Om.
Saya merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata.”

“Syukurlah kamu bisa ikut merasakannya, Dul. Jadi saya tidak sia-sia mengajarkannya.”

“Ada satu orang yang tidak sempat hadir hari ini, Om. Dia meminta saya menyampaikan hasil pelajaran hari ini kepadanya.”

“Oh gitu... ya sampaikan saja, Dul. Kasihan dia.”

(Esoknya si Dul kembali)

“Sudah kamu sampaikan ke dia? Apa yang kamu sampaikan, Dul?”

“Sudah, Om. Saya hanya tersenyum lebar penuh bahagia kepadanya selama 1 menit.”

“Saya kok malah tambah kasihan sama dia, Dul….”



--------------------
Pesan:

Bahasa illahi adalah bahasa rasa. Ia harus dirasakan untuk dipahami.








Si Dul yang Polos

“Om, tadi sewaktu saya ke warung, saya bertemu si Nunung. Dia titip salam melalui saya untuk murid Om yang saban hari ke rumah Om.
Saya bingung... yang setiap hari ke sini kan hanya saya ya Om? Emang ada orang lain ya?"

“Hmmm... hehe... trus?”

“Saya bilang aja ke dia bahwa orang yang dimaksud ga ada.
Si Nunung malah ngotot bahwa orang itu ada, cakep, rajin, sholeh, dan cukup beken... sering diomongin banyak gadis-gadis di kampung bawah."

“Duuul... Duuul... kadang saya sedih sekaligus bahagia sama kamu....
kadang bisa pinteeer banget... kadang polos dan blo’on-nya ga ketulungan...” 

“Eh...?”

(Sampai tulisan ini di-post, si Dul masih tidak tau apa yang terjadi…)








Pohon Alami

“Dul, coba kamu perhatikan, di sini ada pohon rambutan berbuah rambutan, pohon pisang berbuah pisang, pohon mangga berbuah mangga."

“Iya Om, lalu?”

“Setiap pohon berbuah sesuai dengan pohonnya. Dari akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buahnya, semuanya sesuai. 
Menurut kamu, mengapa begitu?”

“Pasti begitulah alamiahnya, Om... kalau itu pohon rambutan, maka dari mulai akar, batang, dahan, ranting, daun, adalah rambutan. Buahnya pun buah rambutan.
Kan tidak sesuai atau tidak alamiah bila pohon rambutan berbuah pisang...?”

“Betul, Dul.
Nah, keajaiban justru terjadi di bawah sana!
Banyak pohon rambutan berbuah pisang, pohon mangga berbuah nangka, dan banyak lagi lainnya!
Sangat jarang yang sesuai dan alamiah.”



--------------------
Pesan:

Sebagian besar manusia tidak mengenali jati diri mereka yang sesungguhnya. Hidup mereka sejak lahir dikendlikan oleh batasan-batasan yang dibuat oleh kelompok mereka sendiri; dogma, doktrin, budaya.
Jati diri adalah fitrah, dan mereka tidak mengenali apa fitrah mereka.







Ulat dan Semut

“Seekor ulat ingin menyeberang sungai, tetapi ia tidak bisa berenang. Ia melihat selembar daun mengambang di atas sungai bersama beberapa ekor semut di atasnya. Ulat meminta semut agar mengizinkannya naik bersama mereka di atas daun dan ikut menyeberang sungai. Para semut mengizinkan, ulat pun naik ke atas daun.

Semut-semut mengambil posisi di sisi daun dan mendayung dengan kaki-kaki mereka. Daun pun bergerak di atas air sungai.

Tak jauh, ulat merasa lapar dan tergiur melihat daun hijau lezat yang sedang dinaikinya. Ia pun menggigit dan memakan bagian tepi daun itu. Sementara semut terus mendayung daun, ulat memakannya sedikit-sedikit.

Perahu daun sampai ke tengah sungai, tetapi sisi daun sudah dimakan ulat. Air masuk ke atas daun dan perahu daun mereka mulai tenggelam.

Semut-semut segera melompat ke sebatang ranting kecil yang terapung di dekat mereka dan segera berenang pergi ke tepi seberang sungai. Sedangkan ulat berbadan besar dan gemuk tidak dapat berenang, ia tenggelam, mati.”

----------

“Kamu paham kisah itu, Dul?”

“Ya, saya sangat paham.
Saya tidak akan membuat Om tenggelam.
Terima kasih, Om.”







Pertanyaan Sebagai Jawaban

(Jawaban terbaik untuk sebuah pertanyaan, adalah pertanyaan.
Dengan begitu si penanya akan dipaksa berpikir dan kemudian menjadi lebih paham.)

Contoh:

Dul: “Mengapa perut saya sakit ya?”

Om: “Apa yang kamu makan tadi?”

Dul: “Mengapa Om sering melakukan meditasi?”

Om: “Jika kamu mengheningkan diri, apa yang akan kamu rasakan?”

Dul: “Kesadaran tinggi membuat kita memahami lebih banyak hal. Apa maksudnya?”

“Om: “Coba kamu panjat pohon kelapa itu sampai pucuknya. Lalu ceritakan apa saja yang kamu lihat dari atas sana?”

Dul: “Boleh sekalian metik buah kelapa, Om?”

Om: “Kalau kepalamu saya jitak, apa rasanya?.... dasar... kirain ngerti…”








Nasi Uduk Untuk Dul

(Nunung)
"Pagi Ooooomm.... si Dul ada?"

"Oh... si Dul lagi pergi sebentar. Ada apa Nung?"

"Ini saya buatkan Nasi Uduk untuk Om dan Dul. Si Dul doyan nasi uduk sepertinya..." (sambil tersenyum centil).

"Wah... kamu baik banget! Terima kasih Nung! Nanti saya sampaikan ke Dul ya.."

(Nunung berjingkrak riang pulang sambil senyum-senyum sendiri)

(Setengah jam kemudian si Dul datang)

"Dul, ada nasi Uduk dari si Nunung buat kamu tuh di atas meja."

"Ooooh... hebat.... sekarang si Nunung udah bisa jual nasi uduk online ya, Om?"

"Blo'on!"
(Sambil geleng-geleng kepala memandang si Dul yang polos.)








Lompat Jauh

(Tampak si Dul sedang berlatih lompat jauh. Si Dul memang gemar olahraga atletik, terutama lompat jauh. Setiap pagi dia berlatih lompat jauh di lapangan dekat rumah si Om).

“Hebat kamu, Dul!”

“Terima kasih, Om. Lumayan udah nambah jauh nih!”

“Iya Dul, pasrah aja...”

“Siap, Om!”

(Si Dul berlatih lompat jauh dengan pasrah, bertambah semangatnya setiap hari.) 



--------------------
Pesan:

Pasrah itu bukan menyerah. Tetapi bergerak bersama Tuhan. Pasrah itu berusaha maksimal, tanpa beban, nothing to lose. Jika kau berusaha di dunia semata-mata karena ada yang ingin kau penuhi atau ada tanggungan, maka kau belum bergerak bersama Tuhan. Kau belum pasrah.








Dul yang Polos

(Si Om dan si Dul adalah Guru dan murid yang sudah melakukan meditasi bertahun lamanya, mengasah indera halus mereka, sehingga terjadi kontak batin di antara mereka.

Sering dijumpai si Om dan si Dul hanya saling berpandangan tanpa mengucapkan satu patah kata pun, tapi seolah mereka sudah menyelesaikan pembicaraan panjang dan mereka hanya saling tersenyum. Kadang tertawa.

Pernah juga suatu malam si Dul terbangun dari tidurnya dan berlari ke rumah si Om yang memang ternyata membutuhkan bantuannya. Tanpa diminta, tanpa bersuara. Semua terjadi di dalam batin mereka.)

----------

(Di suatu pagi, Dul datang ke warung si Nunung untuk membeli sepiring nasi uduk.
Dul tiba di depan warung dan memandang Nunung yang memang sudah menantinya.
Dengan mata berbinar dan tersenyum malu, Nunung menyiapkan sepiring nasi uduk untuk Dul, dan diletakkannya di atas meja.
Dul membalas senyuman Nunung dan memakan hidangan lezat itu.
Tanpa suara. Tanpa kata-kata.)

(Si Om memandang dari kejauhan.... mm...sewot...)

"Itu sih ngga ada hubunganya sama meditasi... 
Naluriah itu mah..!”








Lagu Indah

(Tampak si Dul tengah duduk bersila sambil bersenandung sendirian mengikuti lagu yang terdengar di radio. Matanya terpejam, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti ayunan musik.)

(Si Om datang mendekat dan ikut menikmati buaian lagu indah itu sampai habis.

Om menarik dan menghela nafas panjang.)

“Indah sekali lagu ini, Dul.”

“Iya, Om. Membuat hati tenang, lembut, haru dan sekaligus bahagia.”

“Membaur dengan indahnya alam sekitar kita. Seolah lagu tadi digubah oleh penyair yang sama dengan yang menciptakan alam ini.”

“Luar biasa, Om...”

“Sang penyair sudah paham, Dul.

Maka dia hanya cukup kita rasakan dari karyanya. Rasa-nya itulah siapa dia yang sesungguhnya. Namanya datang kemudian.”



--------------------
Pesan:

Pencapaian tertinggi dalam spiritual adalah memahami bahasa illahi, yaitu bahasa rasa. Seorang yang memahami bahasa illahi bagaikan seniman yang berbicara melalaui karya mereka. Karya itu dibuat dalam bahasa rasa, cinta illahi.








Pembuka Kaleng

“Om, mengapa Om selalu menjawab pertanyaan saya dengan pertanyaan lagi?”

“Supaya kamu mikir, Dul. Dengan berpikir kamu jadi lebih paham, tidak hanya sebatas pertanyaanmu, tetapi semua yang berkaitan dengannya.

Pertanyaan dari saya adalah umpan yang harus kamu tangkap dan cerna. Kunci jawaban dari pertanyaanmu sebenarnya disertakan bersama pertanyaan saya.”

“Oh gitu ya Om... saya paham maksud Om.
Hmm... seperti misalnya saya memancing ikan, ketimbang saya kasih umpan cacing mentah, saya kasih cacing dalam kaleng.”

“Bukan begitu juga kali, Dul! Mana bisa ikan membuka kaleng cacing itu...!?”

“Bisa Om, saya sertakan pembuka kaleng di sampingnya...”

“Dasar kamu Dul...”



--------------------
Pesan:

Kepahaman lebih penting dari kepatuhan. Guru yang baik akan membuat muridnya paham dengan mengajaknya berpikir untuk memahami penjelasannya.








Semangkuk Bubur

(Si Jono datang kepada si Dul dengan semangkuk bubur.)

“Dul, kawanku, aku ingin merasakan bubur ayam yang kau masak itu.”

(Dul mengambil mangkuk yang sudah penuh dengan bubur itu dari tangan Joni, lalu membuangnya.)

“Dul! Mengapa kau buang bubur itu??”

“Agar kau dapat merasakan bubur buatanku.” 

“Tetapi mengapa harus kau buang?”

“Kalau kau bersungguh-sungguh datang untuk merasakan bubur buatanku, kau akan datang padaku dengan mangkuk kosong!
Dimana aku harus menuangkan bubur buatanku bila mangkukmu sudah penuh?!”



--------------------
Pesan:

Pengetahuan dari seorang guru harus diterima dalam keutuhannya, tidak boleh dibandingkan dengan ajaran manapun. ilmu itu harus diterima dalam kekosongan sempurna sampai selesai.








Bahagia Atau Sedih?

“Mengapa kamu murung begitu, Dul?”

“Si Jono berhutang pada saya, Om. Janjinya mau membayar tapi ditunggu-tunggu tidak datang...”

“Hmm... lalu kenapa murung?
Apakah dengan murung uangmu akan kembali, Dul?”

“Tidak, Om.”

“Kalau begitu ya kamu bahagia saja lah.”

“Om gimana sih... ada masalah kok disuruh bahagia?”

“Dul, ada dua pilihan sikap dalam menghadapi masalahmu.
Pertama adalah murung, sedih dan stress seperti kamu sekarang ini. Masalah tidak selesai malah dapat penyakit.

Pilihan kedua adalah bahagia. Masalahmu juga tidak selesai tapi kamu bahagia.
Pilih mana, sedih atau bahagia?”



--------------------
Pesan:

Bahagia dan sedih adalah pilihan. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama, namun sedih bersifat negatif, sedangkan bahagia bersifat positif.









Melukis

“Dul, ini ada sebidang kanvas dan satu set cat minyak, saya ingin kamu melukis sesuatu untuk saya.”

“Baik. Om ingin saya melukis apa?”

“Pejamkan matamu, rasakan seluruh alam ini, lalu lukiskan yang kamu rasakan itu.”

(Dul memejamkan matanya, menarik nafas, setelah beberapa menit kemudian Dul mulai menangis haru.)

“Ya! Lukislah itu, Dul.”



--------------------
Pesan:

Segala perbuatan sepatutnya dilakukan dengan melibatkan rasa illahi. Inilah cara membawa Tuhan di setiap kegiatan. Bergerak bersama Tuhan.








Berdoa

(Suatu malam, si Om melihat Dul yang baru selesai berdoa.)

"Dul, Doamu khusyuk banget... berdoa apa?"

"Saya minta usaha saya di kampung seberang besok itu lancar dan dapat kemudahan. Juga agar besok tidak hujan karena saya mau jalan ke kampung seberang.

Gitu, Om"

"Mirip minta ke dukun....
Sekalian nih bakar menyan biar lebih manjur…."



--------------------
Pesan:

Rasamu adalah doamu. Permintaan yang bukan dari rasa adalah percuma.








Saringan

"Om, saya rasa jika Om membuat perguruan yang lebih terbuka, akan banyak orang yang datang belajar dan lebih banyak orang yang tercerahkan. Bagaimana, Om?"

"Dul, Manusia itu seperti batuan. Dan Pengetahuan illahi seperti saringan. Semakin besar keduniawian manusia, semakin besar ukuran batunya. Hanya mereka yang tidak melekat dengan keduniawian - batunya kecil - dapat lolos dari saringan itu. Dan mereka yang lolos itulah yang mendapat pencerahan."

"Tapi Om tetap bisa membuka perguruan itu kan?"

"Dul, Guru adalah pemegang saringan itu. Bila banyak batuan besar yang masuk ke dalam saringan dan tidak lolos, tangannya tidak akan kuat menahannya.”



--------------------
Pesan:

Kepahaman illahi tidak untuk semua orang. Hanya mereka yang sudah mulai sadar dan mulai mencari sajalah yang akan mampu mencapainya.








Paham dan Patuh

"Om, apakah bedanya Paham dan Patuh?"

"Paham; adalah seperti tanaman bunga mawar di taman itu.
Patuh; adalah seperti bunga mawar plastik di dalam pot, di atas meja itu.”








Bunga Mawar

(Lanjutan percakapan Si Om dan si Dul.)

"Tapi Om, menjadi bunga mawar yang hidup di tanah, penuh resiko. Dia harus berjuang hidup, menghindari perusakan, dan pasti suatu hari akan tua dan mati.
Sedangkan bunga mawar plastik, tidak perlu berjuang hidup, dan dia kekal selamanya."

"Ya, begitulah, Dul. Si bunga mawar memahami bagaimana hidup ini, susahnya dan senangnya. Dia merasakan hidup setiap harinya dan menebar keharuman selagi dia hidup. Dia pun kemudian akan tua, dan mati.

Kepahaman hidup menumbuhkan rasa cinta kasih sebagaimana pula dia diciptakan. Yaitu dengan cinta kasih.

Rasa itu tidak didapat oleh bunga plastik.
Kepatuhan tidak membawa kepada kepahaman.
Kepahaman tidak membutuhkan kepatuhan. Karena semuanya terjadi seara alamiah.”








Burung dalam Sangkar

(Suatu hari si Dul datang ke rumah si Om membawa sebuah sangkar burung dengan seekor burung di dalamnya.)

"Om, lihat, saya bawakan seekor burung indah yang suaranya merdu. Om bisa pelihara mereka di sini."

"Wah... Terima kasih, Dul. Saya suka burung ini!"

(Om menerima sangkar itu lalu membuka pintunya dan membiarkan burung keluar terbang dengan bebas.
Melihat ini, si Dul kaget...)

"Om!... kenapa dilepaskan?!"

"Seperti katamu, Dul, saya pelihara burung itu."

(Si Dul memandang si Om keheranan dan bingung tanpa bisa berkata apa-apa.)

"Semua makhluk sudah berada di dalam satu sangkar yang sama, yaitu alam ini. Dan Sang Pemelihara memelihara kita dengan sangat baik. Saking baiknya, kita pun bersyukur pada-Nya.
Biarkan burung itu juga berkesempatan menikmati sangkar indah ini dan bersyukur pada-Nya.
Manusia sepatutnya memelihara sesama makhluk dengan menghargai satu-satunya sangkar yang kita tinggali bersama-sama ini.”








Ilmu Pamungkas

“Om, apakah syarat untuk mendapatkan ilmu pamungkas dari Om?”

“Ilmu pamungkas? Apaan itu, Dul?”

“Lah.. Om... kan biasanya kalau ilmu itu ada tingkatan-tingkatannya... yang tertinggi itu istilahnya pamungkas, kan?”

“Dul, kepahamanmu akan alam ini dan Tuhan dinilai oleh dirimu sendiri, dan Tuhan. Tingkatan itu dibuat oleh manusia. Ukurannya adalah ukuran manusia. Mengapa manusia memberikan batasan untuk ilmu Tuhan yang tanpa batas?”

“Hmmm... begitu ya, Om..."

Namun pertanyaan saya masih relevan, Om. Apa syaratnya mendapatkan ilmu Tuhan itu?” 

“Nah, pertanyaanmu itu lebih baik dibandingkan yang di awal tadi.
Jawabannya adalah; Cinta.”








Sabung Ayam

"Dari mana kamu, Dul?"

"Dari kampung di bawah, Om... mereka melakukan sabung ayam. Banyak yang nonton. Kasihan saya melihat ayam-ayam itu diadu sampai mati."

"Kasihan ya Dul... padahal ayam-ayam itu kalau ditinggal sendiri tanpa diadu dan ditonton, mungkin mereka tidak akan berkelahi saling bunuh."

"Begitu ya Om..."

"Ya, tentu saja. Tetapi yang lebih menyedihkan adalah; mengadu adalah tindakan keji, Tetapi bila ada penonton dan pertaruhan atas uang, kekejian itu menjadi hiburan dan dibenarkan.

Perang adalah tindakan keji, karena ada perusakan, pembunuhan, dan pembantaian. Tetapi bila melibatkan banyak kepentingan, perang itu jadi dibenarkan.

Ayam dan manusia, sama aja.”







Paham vs Dongeng

“Dul, apa yang saya ajarkan kepada kamu, jangan kamu ajarkan ke orang lain, sampai kamu mengalami sendiri.”

“Saya tidak paham, Om.”

“Nah itu... kamu tidak akan paham apa pun yang saya ajarkan sampai kamu mengalaminya sendiri, sehingga pengetahuan itu menjadi kepahaman bagimu.
Jangan ajarkan pengetahuan tanpa kepahaman."

“Baik, Om.
Kalau pengetahuan diajarkan tanpa kepahaman, bagaimana, Om? Kan banyak tuh terjadi dimana-mana...”

“Mereka bukan guru, tapi pendongeng.
Karena ilmu tanpa kepahaman, bukan ilmu, tapi dongeng.”



--------------------
Pesan:

Menceritakan pengalaman sendiri adalah jauh lebih berharga dari sekedar cerita yang didengar dari orang lain. Tingkat kepahaman dan kesadaran spiritual seseorang dapat diketahui dari pengalaman hidupnya.







Uang Palsu

“Om, kata orang-orang, sekarang kita harus berhati-hati dalam menerima uang. Karena banyak uang palsu beredar.”

“Oh gitu ya, Dul?

Yang yang kamu pegang sekarang juga akan jadi palsu bagi mereka, kalau kamu tunjukkan sisi sebelahnya."

“Kok begitu, Om?”

“Sekarang ini, tidak hanya uang palsu yang beredar dan merugikan banyak orang, tetapi juga banyak orang justru sengaja mencari uang palsu dan menggunakannya sehari-hari.

Uang palsu model baru itu digunakan dengan hanya memperlihatkan sebelah sisinya saja. Sedangkan sisi lainnya tidak diterima oleh mereka.

Mengapa? Karena satu sisi uang yang mereka terima itu menampakkan gambar yang lebih indah dan lebih baik dari sisi lainnya.
Mereka berkata, yang baik itu asli, yang buruk itu palsu.”

“Lah... mana bisa kita menerima uang hanya sebelah sisi saja, Om?!"

“Nah... untuk orang waras seperti kamu, kedua sisi sama saja, Dul.”



--------------------
Pesan:

Tuhan itu seperti dua sisi mata uang. Baik dan buruk adalah dari Tuhan. Jika ingin memahami Tuhan, maka terimalah Tuhan apa adaNya - yaitu kedua sisiNya. Jika ada orang yang mengajarkan untuk menerima satu sisi Tuhan saja, maka Tuhannya hanya separuh. Ajaran itu tidak sempurna.







TTS

(Tampak Dul sedang membaca koran)

"Dul, kok kamu baca koran cuman halaman TTS (teka teki silang)-nya saja?"

"Ah... baca beritanya harus pakai mikir... pusing, Om!"

"Lah... bukanya mengisi TTS juga mikir?"

"Kalo TTS mikirnya jelas... bisa tau pasti jawabannya, benar atau salah."

"ooo gitu…."








Hari yang Damai

“Hari yang tenang dan damai, ya Om?

Burung berkicau merdu, angin sepoi-sepoi, sinar hangat matahari... wah... bahagianyaaaa!”

“Hmmm.... Kenapa kamu, Dul? Kamu sehat?”

“Sehat dong Om!”

“Sudah sarapan?”

“Barusan aja sarapan, Om!”

“Minum kopi?”

“Sudah juga, Om.”

“Baca koran?”

“Belum, Om.”

“Nah itu..!



--------------------
Pesan:

Yang eksternal tidak penting. Yang terpenting hanyalah yang internal - hubunganmu dengan Tuhan.







Orang Buta

“Kasihan ya Om, orang itu buta.”

“Mengapa kau kasihani dia, Dul?”

“Iya lah Om... orang buta kan tidak bisa melihat... sedangkan kita bisa melihat.”

“Dul, Ada dua jenis orang buta. Satu yang berdiam diri saja dan meratapi nasibnya. Dua adalah yang mengambil tongkatnya lalu melangkah.

Kita ini tidak lebih baik dari mereka. Kita juga adalah manusia yang buta. Buta terhadap pengetahuan Tuhan, buta terhadap Kebenaran hakiki. Tidak ada yang akan mengasihani kita.

Jika kita diam saja, kita akan tetap buta. Tidak akan ada yang kita pelajari dari hidup ini.
Jadi, karena sudah buta, kenapa tidak sekalian berjalan saja?!
Istilah kerennya, nothing to lose, gitu Dul.”

“Nanti ketabrak dan jatuh, bagaimana, Om?”

“Ya dia jadi tahu rasanya ketabrak dan jatuh.”

“Nanti nyasar, bagaimana, Om?”

“Ya dia jadi tahu rasanya kesasar.”

“Oh....! Saya paham, Om.”

“Nah...! Sekarang, apakah kamu termasuk orang buta yang diam saja atau yang berjalan terjatuh dan nyasar, Dul?”



--------------------
Pesan:

Kepahaman didapat dari pengalaman. Tidak ada manusia yang paham tanpa pengalaman.








Sayur Bekicot

(Si Dul dan si Jono makan siang bareng di rumah si Om.)

Jono: “Wah enak banget ya sayur ini! Lezat luar biasa... nambah lagi aaaah!”

Dul: “Sayur masakan si Om memang lezat, Jon! Kamu aja yang baru tau... datang ke sini tiap hari dong.."

Jono: “Waaaah.... boleh?? Mau doooong!”

Dul: “Boleh dong... biar kita bisa makan enak bareng tiap hari kan Jon?!”

Jono: “Siip!! Duh gila... ini sayur dibuat dari apa ya kok enak buanget gini?
Hmmm pasti jelas enak lah karena yang buat aja orang sakti... di atas gunug keramat begini pula... trus kamu juga saya perhatiin selalu bahagia dan damai setiap hari sejak sering ke sini, Dul.”

Dul: “Yah beginilah rasanya pencerahan, Jon... bahagia, tenang, damai...
Btw Jon, sayur ini dibuat dari bekicot.”

(Mendengar itu, si Jono langsung menutup mulutnya menahan muntah dan lari tunggang-langgang turun gunung.

Si Om datang...)

“Lah itu si Jono kok kabur, Dul?”

“Tauk dah Om.... awalnya dia menikmati banget sayur masakan Om ini... tapi begitu saya kasih tau resepnya, dia langsung kabur pulang turun gunung...”

“Ah... kebanyakan orang tidak mampu atau takut menerima yang benar. Mereka lebih memilih untuk tidak tau yang benar, asalkan mereka senang. 
Kamu sih pake ngasih tau segala.... kabur kan dia…”



--------------------
Pesan:

Sebagian besar ajaran dogma, doktrin, budaya justru menutupi kebenaran hakiki sedemikian rupa menjadi sesuatu yang menakutkan. Contohnya adalah kebenaran mengenai Tuhan yang Maha Esa. Tetapi kemudian orang justru menggunakannya untuk menyalahi agama lain. Jika percaya Tuhan itu Satu, mengapa menjauhi atau menyudutkan agama lain?








Caranya?

“Om, bagaimana agar hidup saya tidak menderita?”

“Ya jangan menderita. Berbahagilah, Dul!”

“Om... saya tanya kok malah dibalikin lagi....
Bagaimana agar saya tidak bersedih?”

“Ya jangan bersedih. Berbahagialah, Dul!”

“Yah si Om... caranya bagaimana, Om?”

“Ya tadi itu caranya, Dul! 

Dikasih tau kok ngeyel…”



--------------------
Pesan:

Bahagia dan menderita itu pilihan sikap. Tanpa syarat.








Ember Air

“Ok Om, saya sekarang tidak menderita dan tidak bersedih. Saya berbahagia. Sampai kapan begini hingga dapat hasilnya?”

“Dul, kamu tahu bak penampungan air kita yang besar di belakang rumah itu?

Ini saya kasih ember, tolong isi penuh ember ini.”

(Si Dul bingung... tapi dilakukannya juga permintaan si Om.)

“Sudah nih Om. Kerannya sudah saya buka dan air mulai mengisi embernya.”

“Kapan ember itu akan penuh, Dul?”

“Ya ntar pasti penuh Om, asalkan airnya terus mengalir, pasti penuh... ditungguin aja sambil santai.”

“Nah... air di dalam penampungan itu ibarat potensimu. Ember adalah daya tampungmu atau harapanmu. Potensi dan harapan tidak akan bersambung kalau potensimu tidak dialirkan. Aliran air itu adalah usahamu.

"Semakin besar ember, pengisiannya semakin lama. Tapi yang penting air harus tetap mengalir. Gitu kan, Dul?”

“Iya bener, Om...”

“Nah sekarang saya tanya ke kamu, Dul... kapan harapanmu akan terpenuhi?”

“Hmmm.... tidak perlu saya pikirkan, Om... karena selama air itu tetap mengalir, harapan saya sedang dalam proses terpenuhi.”

“Bagus, Dul!
Sekarang kamu bisa ganti ember itu dengan yang lebih besar.”








Ember Bocor 

(Sambungan dari percakapan sebelumnya.)

“Nah, Dul, ember yang kamu isi air itu sudah hampir penuh. Cepat bawa ke sini, masakkan air minum ya... saya haus banget nih...”

“Siap, Om...”

(Dul mengambil ember yang berisi air itu untuk dimasak. Tapi sampai di dapur, ember itu kosong.)

“Loh kok airnya tidak ada, Dul?
Lihat... embermu bocor!

Dul... Dul... Kalau kamu menampung air dengan ember bocor, akan sia-sia. Harus kamu tambal dulu!

Jangan pernah kamu menampung ilmu dengan pikiranmu yang tidak ikhlas atau dipenuhi curiga. Semua yang kamu terima akan tebuang percuma.

Jangan pernah menyimpan dendam masa lalu, jangan pernah meratap, mengeluh, bersedih, itu semua adalah lubang kebocoran tadahan hati kehidupanmu. Sama saja menampung air dengan ember bocor. Atau mengarungi lautan hidupmu dengan perahu bocor.

Dan yang juga akan kamu sesalkan, kamu membuat orang lain tersiksa, mati kehausan karena apa yang kamu tampung tidak bermanfaat sama sekali.”








Halaman Terakhir

"Bagaimana buku yang saya kasih kamu bulan lalu? Sudah kamu baca, Dul?"

"Akhirnya, si tokoh utamanya bahagia, Om."

"Kok akhirnya?... Kamu belum baca ya?"

"eh.. eh.... saya baca ujungnya aja, Om"

"Baca buku itu jangan langsung ke halaman terakhir, Dul!
ngaco kamu ah... Kamu tidak akan tahu ceritanya…!"








Memancing

“Dul, yuk kita mancing!”

“Wah... mantep... siap Om!”

(Dul melempar kail ke danau dan duduk menunggu dengan bersemangat.)

“Dul, duduklah dengan tenang tidak bergerak... pejamkan matamu... atur nafasmu... sabar... tenang...”

(30 menit sudah berlalu. Tali pancing Dul bergerak.)

“Ada ikan di kail saya, Om!... Cihuy!!”

“Bagus, Dul! Tariklah!”

(Dul menarik tali pancing, tampak seekor ikan besar meronta-ronta di ujung kail. Dul mengambil ikan itu.)

“Kamu senang ya Dul?”

“Senang banget Om! Makan besar kita!”

“Lemparkan ikan itu kembali ke danau, Dul.
Cepat lakukan sebelum ikan itu mati.”

“Hah??!!... Kenapa, Om?”

“Sudah... jangan banyak tanya. Lakukan saja!
Kemudian siapkan pancingan baru. Pancinglah lagi.”

(Dul yang masih kecewa bercampur bingung melakukan saja perintah si Om. Dan ketika ikan terkait, Om meminta Dul melepas ikan itu kembali ke danau.
Kejadian ini berulang hingga beberapa kali.

Yang terakhir ini, si Dul tidak lagi protes ataupun kecewa. Dul hanya duduk diam dalam ketenangan sambil tersenyum.)

“Mengapa kamu sekarang jadi lebih tenang, Dul?”

“Om, saya paham pelajaran hari ini. Saya bukan sedang memancing ikan, tetapi melatih menguasai ego saya.”

“Bagus, Dul... saya senang mendengarnya. Kamu berhasil menguasai egomu.”

(Setelah satu jam, Dul masih duduk tenang dengan mata terpejam penuh damai.)

“Dul, mengapa sekarang tidak ada ikan yang terpancing? Sudah satu jam berlalu...”

“Karena saya tidak memakai umpan, Om.”

“BAGUS, Dul! Hahaha...! Saya bangga padamu! Sekarang yuk kita pulang!” 



--------------------
Pesan:

Dalam mengarungi hidup ini, janganlah menentukan harapan spesifik. Karena hal tersebut hanya akan membatasimu dari keberlimpahannya Tuhan. Bergeraklah bersama Tuhan. Bawalah / Sertakan Tuhan dalam setiap langkahmu. Nikmati setiap momen dalam hidup. Berbuatlah maksimal, raihlah setiap peluang yang dirasa baik. Semuanya dilakukan penuh bahagia dan sikap positif. Kau akan terkejut dengan hasilnya nanti. Kau bukan sedang hidup, kau sedang menikmati hidupmu bersama Tuhan.








Es Durian Campur Kelapa

“Om, apa rasa es durian campur kelapa? Om pernah memakannya?”

“Pernah, Dul. Rasanya ya rasa durian campur kelapa.”

“Manis ya Om?”

“Ya... manis....”

“Tapi pasti agak getir ya Om... karena ada air kelapanya?”

“Ya... memang di lidah terasa bedanya... khas air kelapa, Dul.”

“Juga pasti banyak seratnya ya, Om? Kan durian dan kelapa memang berserat...?”

“Ya... memang berserat, Dul.”

“Hmmm... wah... pasti enak banget ya Om?!”

“Ya... enak banget...”

“Terus... ceritakan lagi dong, Om... bagaimana rasanya es durian campur kelapa itu...?”

(Om pergi sebentar lalu kembali dengan semangkuk es durian campur kelapa.)

“Nih Dul... rasakan sendiri!”

(Dul memakannya.)

“Waaaah.... segarnyaaaa! Lezat... manis... berisi!”

“Dasar kamu Dul... repot kebanyakan nanya! Kalau dari tadi kamu rasakan sendiri kan cepat paham…"



--------------------
Pesan:

Kepahaman dicapai dari pengalaman. Raskan sendiri, maka kau akan paham.








Lukisan Pasir

"Om, bagaimana cara memahami kemelekatan, sehingga saya bisa sadar untuk tidak melekat padanya?"

(Om mengambil pasir warna).

"Dul, ini ada beberapa ember pasir halus yang sudah diberi warna. Masing-masing ember berisi satu warna pasir. Ada yang putih, hitam, merah, kuning, biru, dll.
Nah, dengan menaburkan pasir itu pelan-pelan dengan tanganmu, cobalah melukis sesuatu di atas papan ini."

"Baik Om."

(Dul mulai melukis pemandangan indah. Ia curahkan semua daya imajinasi dan seninya ke dalam lukisannya.
Tak terasa, 8 jam sudah berlalu)

"Sudah jadi, Om!"

"Waaaah.... bagus banget, Dul! kamu memang berbakat melukis ya!"

"Hehehe... terima kasih, Om..."

(Dul memandang takjub ke lukisannya sendiri.)

"Dul, sekarang kamu balik papan itu."

"Lah... Om... lukisan pasir saya rusak dong.. semuanya tumpah?!"

"Ya, begitulah. Bukankah kamu ingin memahami bagaimana mengatasi Kemelekatanmu...!?"

"Oh..."

(Sambil sedih... Dul membalik papan lukisannya dan lukisan itu semua hancur karena pasir-pasir tumpah semua ke tanah)

"Bagus! Sekarang coba kamu melukis lagi sesuatu yang lain."

(Dul memandang Om dengan mata berkaca-kaca. Kesedihannya berubah menjadi senyuman yang sangat dalam.)

"Terima kasih atas pelajarannya, Om... Saya paham.”



--------------------
Pesan:

Tidak ada satu pun yang milikmu. Apa pun datang dan pergi sesuai waktunya.








Sebuah Dogma

Jono: “Dul, ciri-ciri orang yang mencapai kepahaman dan tingkat spiritualitas tinggi itu adalah tenang, suka menyepi, dan tidak ada gairah urusan duniawi. Seperti Si Om itu. Begitukah, Dul?”

Dul: “Walah, Jon.. kalau ada orang yang mendalami spiritual tapi terus tidak ada gairah hidup duniawi, itu namanya bukan orang paham spiritual, tapi orang bingung!”

----------

(Esok pagi, si Dul menemui si Om. Tampak si Om sudah berdiri di ambang pintu menyambut kedatangannya.)

“Nah... kamu datang, Dul! Sini masuk... saya ada ide begini...”

(Dul menatap pandangan mata si Om yang berbinar-binar penuh semangat, lalu bergumam di dalam hati.)

"Tuh kan... harusnya si Jono ikutan ke sini... biar dia tau...
Ngopi aja blom, udah diajak mikir…."



--------------------
Pesan:

Kepahaman illahi akan menyadarkanmu akan diri sejatimu. Kemudian akan ada ledakan dari dalam diri, semangat, gairah hidup, semakin percaya diri, namun tenang dan sabar.








Asap Kegelapan

“Lihat, Om, orang-orang di kampung bawah itu sedang membakar sampah. Asapnya hitam gelap sampai gunung yang terdekat pun tidak terlihat lagi.”

“Ya, Dul... terlalu banyak asap kegelapan, menghalangi keindahan yang terpampang di depan mata mereka.
Terlalu banyak negatif, membutakan manusia dari yang positif. 
Terlalu banyak kesedihan, menutupi diri dari kebahagiaan.
Di alam ini banyak yang indah. Tidak ada alasan untuk tidak melihat dan menikmatinya.”









Mahar

(Suatu hari si Jono pergi meminta tolong kepada si Om.)

Jono: "Om, tolongin saya... saya dari kemarin kok pusing tidak hilang-hilang... meriang, perut mual... obatin saya dong Om..."

Si Om: "Jon, kamu harus pergi untuk memetik daun sirih yang ada di puncak gunung itu sebanyak 7 lembar, lalu pulangnya ambil satu kendi air di mata air di kaki gunung itu. Masaklah air dari kendi sampai mendidih, masukkan daun sirih ke dalam air. Air kamu minum, 3 gelas sehari. Besoknya, kamu ulangi lagi semuanya dari awal, lakukan setiap hari selama 3 hari."

(Si Jono dengan patuh melakukan perintah si Om.)

Kemudian si Dul datang kepada si Om.)

"Om, padahal kalau si Jono disuruh banyak minum dan banyak istirahat, pasti sembuh. Kenapa Om suruh dia naik-turun gunung?"

"Ya! memang persis itulah yang barusan saya suruh Jono lakukan!"



--------------------
Pesan:

Untuk membuat seseorang paham, terkadang guru harus memintanya melakukan hal-hal yang dia pahami di level kepahamannya yang sekarang. Karena hanya dengan begitulah dia akan melakukannya. Sang guru seungguhnya hanya ingin menyampai satu hal sederhana yang besifat esensial.






 

Tidak ada komentar: