Hanya kunci yang sesuai yang dapat membuka pintu yang terkunci.
Hanya keselarasan dengan getaran-Nya, Ia akan terbuka di hadapanmu.
Semakin hari semakin saya merasa cukuplah sudah paparan saya di blog ini mengenai alam, kehidupan, dan Tuhan. Dan sudah lebih dari cukup pula apa yang saya sampaikan di dalam seminar saya. Apa yang ingin dibagikan, sudah dibagikan. Apa yang ingin dipaparkan sudah dipaparkan. Selebihnya saya serahkan kepada anda, pembaca dan pengikut seminar saya untuk mengambil manfaatnya dan mengalaminya sendiri-sendiri.
Walaupun saya sehari-hari melakukan secara rutin praktik yang berhubungan dengan spiritualitas, namun saya sadari betul bahwa saya sangat jarang mengajarkannya di tulisan saya. Dan hanya sedikit pula yang saya ajarkan di dalam kelas. Hal ini sengaja saya hindari karena saya tidak ingin pembaca umum berpersepsi atas sesuatu yang hanya didapat dari bacaan. Persepsi akan menjadi realita bagi yang berpersepsi. Pengalaman spiritual saya akan dijadikan patokan, acuan, atau mungkin sebagai tolok ukur. Sementara kita harus tahu bahwa perjalanan dan pengalaman spiritual setiap manusia berbeda-beda. Tidak ada yang harus sama. Perjalanan spiritual bersifat personal dan individual. Setiap manusia unik, tidak ada yang pengalaman yang sama.
Dengan demikian sangatlah krusial untuk menghindari persepsi. Praktik memerlukan bimbingan dari seorang pembimbing yang membantu / menjaga anda dari persepsi anda sendiri. Anda tidak mungkin mendapatkan bimbingan saya hanya dari tulisan-tulisan saya ini. Yang saya tuliskan adalah Kepahaman. Kepahaman adalah hal yang fundamental - kebenaran hakiki yang berlaku di mana pun di alam ini tanpa terkecuali.
Jika pun saya harus menyampaikan praktik-praktik melalui tulisan, maka pastilah akan saya simbolkan. Hanya mereka yang mampu menguak makna dibalik simbol-simbol itu yang memahami apa yang saya sampaikan.
Sebagai ilustrasi; Jika saya ingin menyampaikan mengenai satu tanaman bunga mawar, maka saya tidak menuliskan dengan bahasa Indonesia "bunga mawar". Bahasa mungkin berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Namun jika saya menggambar bunga mawar, maka semua orang dimana pun dan kapan pun akan paham bunga apa yang saya bicarakan.
Saya pun menjadi paham mengapa banyak ajaran-ajaran kuno yang disampaikan dalam bahasa simbol, dan mengapa hal tersebut menjadi sangat penting.
Alunan Rumput, Lantunan Angin
Di bulan Maret 2017, saya berkesempatan mengunjungi kota Aswan di Mesir bersama sahabat-sahabat. Kami menginap di sebuah hotel yang terletak di pulau Elephantine, di sungai Nil. Dan mungkin memang sudah digariskan untuk terjadi, di suatu sore menjelang senja saya mendapati diri saya berjalan dengan santai di luar hotel menyusuri pulau yang dikelilingi air sungai, serta dipagari oleh tanaman Buluh, sejenis rumput-rumputan tinggi mirip alang-alang, dengan bunganya yang mirip kapas. Tanaman ini dalam bahasa Inggris disebut Reed.
Matahari masih bersinar namun tidak terik karena sudah mulai condong ke Barat. Cahayanya terbayang lembut pada permukaan air sungai yang tenang. Angin petang berhembus perlahan menggoyang permukaan air dengan ritmenya yang khas. Tampak pantulan cahaya matahari bergerak di atas air, disambut gerakan-gerakan kecil buluh-buluh.
Pikiran saya ringan seringan kapas, tenang dan tentram. Sangat jarang saya merasakan setenang ini. Dada terasa lapang. Saya hirup udara dalam-dalam melalui hidung memenuhi dada sampai maksimal. Udara yang bergerak membawa aroma air sungai yang sedikit amis, serta aroma tanah yang menyegarkan. Perlahan angin menyentuh wajah, seraya mata saya terpejam menikmati ketenangan batin ini.
Saya membiarkan ritme nafas diikuti langkah kaki membawa saya ke dermaga kecil tempat tertambatnya perahu-perahu khas negeri yang indah ini - felucca, yang seolah tampak sedang beristirahat dari penatnya pelayaran siang tadi.
Saya turun dan berjongkok ke tepi dermaga, tangan menyentuh air sungai, sejuk di kulit masih kental di ingatan. Saya menengok ke kiri... di kejauhan ada yang bergerak di sela-sela buluh-buluh ramping tinggi menjulang, tampak beberapa ekor burung berjalan seakan bersembunyi mengintai.
Masih dapat saya rasakan pasir yang masuk ke sela-sela sepatu, air yang menyentuh kulit tangan, suhu sore hari yang hangat namun berangin sejuk menerpa sekujur tubuh, selendang melambai tertiup angin. Sungguh ketentraman yang tak kan terlupakan. Damainya suasana ini terasa dari seluruh alam sampai ke dalam hati. Saya merasakan ritme itu; dimana tarikan dan hembusan nafas, degup jantung, serta langkah mengalun dalam satu irama. Bahkan tolehan kepala pun terseret pelan mengikuti lantunan angin. Tangan ini hanya mampu melenggang bersama alunan rumput buluh-buluh dan burung-burung jangkung yang mengintip lucu.
Kemudian terjadilah momen mistis yang luar biasa...
Aku merasakan irama alam, sebentuk keselarasan - harmonisasi alam dan aku.
Aku terjerat dalam ritmenya. Gerakku melambat sesuai lambaian angin, atau cepat seiring riangnya air.
Kepalaku ikut menoleh kala buluh melenggok ke arahku. Aku terbius dan tak mampu keluar dari sengatan irama itu.
Pikiranku kosong. Waktu seakan tiada.
Aku terjerat dalam irama-Nya.
Langkah kaki membawa saya ke sisi lain dari pulau. Tampak sebuah felucca tengah berlayar di tengah sungai dengan layarnya yang penuh terbentang, mengikuti arah angin membelakangi matahari yang semakin condong hampir menyentuh puncak bukit pasir besar. Perahu itu bergerak dengan ritme yang sama. Saya bertanya dalam hati, bagaimana mungkin? Ternyata apakah tidak saya sendiri yang mengalami momen mistis ini.
Seekor burung melesat di angkasa seolah ingin menyadarkan saya dari keterbiusan ini. Namun... burung itu juga tidak merusak ritme yang sedang berlaku. Ia juga terbang seiring irama alam, hanya saja tempo gerakannya lebih cepat dari yang lainnya. Seolahnya, sekali lagu telah diputar, maka semua makhluk terjerat dan berperan sebagai pemain musiknya, dan tidak akan berhenti sampai lagu selesai. Saya merasakan setiap makhluk di sekitar saya memainkan perannya masing-masing dalam musik alam yang sangat syahdu ini. Tidak ada satu pun yang bernada sumbang. Semua merasakan dan terjerat di dalam getaran yang sama.
Saya terpana, masih dalam jeratan irama alam yang megah itu, hingga matahari perlahan hilang di balik gunung pasir. Langit pun gelap, saya pun melangkah pulang.
Senandung Merdu Buluh-Buluh
Di Jakarta, sepulang dari Mesir, saya masih tidak dapat melupakan peristiwa itu. Alam bawah sadar saya masih berada di sana. Sambil menulis kisah perjalanan spiritual saya itu di blog (April 2017), saya tergerak untuk mencari lagu-lagu tradisional Mesir kuno di iTunes. Saya membeli satu album berjudul "Ancient Egypt" oleh Ali Jihad Racy.
Ada dua lagu instrumental di dalam album tersebut yang saya gunakan untuk mengiringi meditasi rutin harian saya. Sulit saya deskripsikan di sini, namun sewaktu pertama kali saya mendengarnya, alunan lagu-lagu tersebut sangatlah mirip dengan alunan alam yang membius saya sore hari itu di pulau Elephantine.
Saya membayangkan seorang pemain oblique atau flute - alat musing tiup serupa suling yang terbuat dari batang tanaman reed / buluh, alat musik tradisional Mesir kuno - sedang duduk bersimpuh di atas batu besar di tepi sungai, memejamkan kedua matanya, dan meniup suling mengikuti irama goyangan buluh-buluh, riak ombak air, serta tiupan angin seiring petikan oblong, membentuk satu senandung irama yang merdu, indah, tentram dan damai. Keselarasan irama nada alam, menyatu, menjerat dan membius siapa pun yang selaras dengannya.
Begitulah saya bermeditasi setiap hari.
Tanpa terasa satu tahun berlalu.
Irama Alam
Suatu pagi, saya melakukan meditasi di ruang depan rumah saya. Sengaja pintu depan rumah saya buka lebar dan saya meditasi menghadap ke luar rumah dimana terdapat halaman dengan tanaman-tanamannya, diiringi sayup musik buluh-buluh dari speaker kecil di sudut ruangan.
Pagi itu menjadi pagi yang istimewa bagi saya karena saya merasakan irama syahdu itu kembali. Alam di hadapan saya berperilaku dalam harmonisasi yang sama dengan yang pernah saya rasakan di negeri yang jauh setahun yang lalu. Saya baru benar-benar menyadarinya. Dan sejak itu, dalam setiap meditasi, semakin kerap saya selaras dengan irama alam di sekitar saya.
Apa yang ingin Kau sampaikan padaku, ya Tuhan?
Beberapa bulan berlalu...
Keselarasan manusia dengan alam adalah yang saya sebut dengan harmoni. Harmoni adalah keselarasan. Tuhan telah membuka satu lagi rahasia-Nya kepada saya yang sudah sangat jelas di hadapan, namun tak pernah saya sadari sebelumnya. Satu per satu terkuak di dalam keheningan dan kekosongan.
Hingga pada suatu malam...
Malam yang satu;
Aku ditampakkan bentuk yang tak kupahami. Aku bermimpi tetapi aku terjaga. Gambaran itu sangat jelas... namun tidak berarti, tak bermakna. Aku pun melupakannya.
Malam yang dua;
Aku ditampakkan bentuk yang lain lagi. Tak kupahami. Aku terjaga tetapi bagai bermimpi. Gambaran itu semakin jelas... namun tidak berarti, tak bermakna. Aku pun bertanya.
Sang Guru menjawab;
Kau tak memahami yang belum pernah kau lihat sebelumnya sepanjang hidupmu. Itu adalah wujud rupa alam yang sesungguhnya.
-----
Persepsi manusia terhadap realita hanya sebatas kemampuan mereka dalam berpersepsi. Saat mereka dibukakan pintu realita yang hakiki, mereka tidak memahaminya karena hal tersebut di luar jangkauan kemampuan mereka.
Harmoni
Di suatu pagi, kembali saya heningkan diri dalam meditasi.
Saya memandang ke luar dan secara otomatis menikmati irama alam.
Bagai pemain musik orchestra yang mengikuti aba-aba dari sang konduktor dengan baton-nya.
Tetapi... Kali ini ada yang berbeda...
Di suatu pagi, kembali saya heningkan diri dalam meditasi.
Saya memandang ke luar dan secara otomatis menikmati irama alam.
Bagai pemain musik orchestra yang mengikuti aba-aba dari sang konduktor dengan baton-nya.
Tetapi... Kali ini ada yang berbeda...
Rasa damai, yang belum pernah ada.
Rasa tentram dan nyaman bersama getaran alam.
Liuk jantung seirama detak dedaunan.
Nafas bersama hembusan angin lembut bertiup pelan.
Perlahan semakin dekat... kemudian selaras jadi satu.
Kembali ku terjerat dalam irama semesta syahdu.
Aku terbius Irama-Mu.
Tujuh lapis, sampai ke dalam, Kau kupas aku satu per satu.
Muncul terang putih, cahaya merebak ke seluruh penjuru.
Ringannya rasa lebih ringan dari bulu.
Aku melayang ringan terlepas dari badan.
Cahayaku memancar menerangi malam.
Namun... aku tidak sendirian.
Ada banyak cahaya di sekeliling, dari semua makhluk alam.
Wajahku tak mampu berpaling, dari cahaya abadi yang tak kan pernah padam.
Kami satu, alam bercahaya, sinarnya menyilaukan.
Semuanya adalah cahaya, pancarannya terang
Cahaya bergerak bagai gelombang.
Tak mampu ku menggapai makna.
Namun rasa itu adalah bukti nyata.
Alam bersifat polos apa adanya. Ia tidak bertabir, berkedok ataupun bersandiwara. Ia tampil apa adanya.
Manusia adalah makhluk berakal. Akal adalah cara manusia berpikir. Berpikir maka ia berpersepsi. Manusia memandang alam dalam persepsi mereka, bukan dalam wujud yang sesungguhnya.
Karena keterbatasan indera, manusia membatasi alam sesuai dengan batasan indera mereka. Tidak lebih dari itu. Begitulah alam untuk manusia. Begitulah manusia untuk alam. Sampai manusia dapat menyadari bahwa alam ini memiliki jati diri, manusia akan selalu terpenjara.
Manusia yang terpenjara, manusia yang memenjarakan alam.
Adalah manusia yang mengurung Tuhan dalam keterbatasan kepahaman mereka.
Alam ini berirama, alam ini bersenandung. Alam ini adalah symphony musik Maha Agung.
Jika kau betul-betul hening dan menikmati ritme dan iramanya, kau akan meyadari getaran-getaran dawai musik lantunannya. Halus, lembut, dan sayahdu.
Sekujur tubuhmu bergetar satu frekuensi dengan-Nya.
Aliran hangat menjalar ke sekujur tubuh, membangunkan Indera yang selama ini tidur.
Getaranmulah yang sepatutnya selaras dengan alam, bukan sebaliknya.
Begitu getaranmu selaras dengan getaran alam, kau dapat menyaksikan wujud alam ini tanpa tabir, tanpa batasan persepsimu. Alam apa adanya.
Dan di balik itu semua, adalah keselarasanmu dengan Tuhan. Tuhan yang apa adanya, bukan Tuhan hasil dari persepsimu.
Begitu getaranmu selaras, maka cahaya jati dirimu akan muncul, yang salama ini tersimpan di lapisan terdalam tubuh fisik dan persepsimu.
Alam ini adalah cahaya.
Dan kau adalah cahaya di atas cahaya.
Cahaya Tuhan
Rasanya... Tak Terlukiskan...
Mungkin saya sudah sampai pada tapal batas dimana RASA itu sudah tak mungkin lagi dituangkan ke dalam tulisan, bahkan syair atau puisi sekalipun.
Suci dalam ketenangan. Damai dalam diam.
Namun senantiasa mengalun, selayak buaian siang dan malam.
Aku adalah harmoni semesta alam.
Aku adalah cahaya-Mu.
Kau adalah Aku.
~ Erianto Rachman ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar