Kamis, 20 April 2017

Magic Egypt

Part 7: Beauty in the Eyes of the Beholder




"Open thy SOUL, O man, to the Cosmic and let it flow in as one with thy SOUL.
LIGHT is eternal and darkness is fleeting.
Seek ye ever, O man, for the LIGHT.
Know ye that ever as Light fills thy being, darkness for thee shall soon disappear."

("Bukalah jiwamu untuk kosmos, wahai manusia, dan biarkanlah ia mengalir masuk menyatu dengan jiwamu.
CAHAYA adalah abadi dan kegelapan hanyalah sementara.
Carilah CAHAYA itu, wahai manusia
Ketahuilah, selama cahaya mengisi dirimu, kegelapan akan segera menghilang.")

(The Emerald Tablet of Thoth, Tablet VII, The Seven Lords)




Edisi 1.6

Dianjurkan untuk membaca Part 6 terlebih dulu.


26 March 2017, Valley of The Kings

Belum habis kulit kami menahan teriknya matahari, kami melanjutkan penjelajahan ke tempat yang tak kalah teriknya, Lembah Raja-Raja (Valley of The Kings) yang berlokasi di lembah pegunungan batu di balik Kuil Hatshepsut. Di sini kami diperingatkan dengan keras untuk tidak mengambil gambar. Beberapa dari kami tetap nekad melakukannya dan mendapat teguran keras dari petugas yang menjaga lembah ini.

Valley of The Kings adalah tempat keramat makam raja-raja. Di sana terdapat makam raja-raja dari Dinasti ke-18 sampai ke-20. Makam dibangun dengan menggali miring ke bawah, pada dinding gunung batu hingga mencapai kedalaman ratusan meter, membentuk terowongan atau koridor berukuran besar dengan penampang mencapai sekitar 10m x 5m. Dinding koridor berukirkan dan berlukiskan kisah Raja yang dikubur dan prosesi penguburannya. Pada makam yang lebih tua, dinding koridor batu dipahat lalu dicat, menghasilkan lukisan berwarna yang timbul. Sedangkan pada makam yang lebih baru, dinding batu hanya dicat saja.

Bagian terdalam dari makam adalah lokasi ditempatkannya sarcophagus yang memuat mumi dari raja (namun mumi sudah dipindahkan ke museum, antara lain di museum Cairo). Lukisan di dinding ruang terdalam ini dipenuhi lukisan dewa-dewi yang masing-masing tampak memberikan blessing kepada sang Raja untuk menempuh perjalanannya ke alam akhirat. 

Beberapa makam boleh dimasuki oleh turis, tetapi juga masih banyak yang ditutup karena masih dalam penelitian/penggalian serta restorasi. Satu makam yang baru saja 2 minggu dibuka untuk umum ketika kami tiba di Valley of the Kings ini adalah makam Raja Seti I. Dengan membayar tiket khusus, kami semua mengunjungi makam istimewa ini yang belum pernah dibuka untuk umum sejak penemuannya di tahun 1816.


Valley of The Kings (panoramic view)



26 March 2017, Cruising The Nile

Kami tiba ke kapal sore hari. Terasa naungan atap kapal dan penyejuk ruangan membantu kami rileks setelah sehari penuh terjemur matahari. Saya menghabiskan sore hari beristirahat di beranda kamar yang tepat berada di atas air sungai Nil. Sejenak kemudian tampak air di bawah bergerak. Kapal mulai berlayar. Kami memulai pelayaran kami ke kota Aswan.

Saya kembali masuk ke dalam kamar yang sangat nyaman dan berbaring pelan. Inginnya segera memejamkan mata sebelum waktu makan malam tiba. Mata sayu hampir terpejam di atas ranjang lembut berlapiskan seprai putih bersih yang wangi ini seraya menikmati ayunan lembut gerak kapal bagai timangan penghantar tidur. Langit yang bergerak tampak dari balik jendela. Sungguh damai dan tenang suasana sore ini.

Hanya beberapa detik setelah mata saya terpejam, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang di luar jendela. Seperti mimpi. Sedang dimana saya? Ada suara orang di luar jendela? Sedangkan di luar jendela adalah air! Penasaran dengan kebisingan yang tak masuk akal itu, saya bangkit dari tempat tidur, membuka pintu kaca dan keluar ke beranda. Oh... pemandangan yang baru pertama kali ini saya lihat sepanjang hidup saya.

Tampak perahu kecil tanpa motor, ditumpangi dua orang berpakaian khas Mesir. Perahu sudah dalam kondisi terhubungkan dengan tambang ke kapal kami. Entah kapan orang-orang itu menambatkan tambang itu di kapal kami. Perahu mereka bergerak bersama kapal sambil bergoyang-goyang menerjang ombak. Satu orang tetap duduk di perahu tampak sedang menjaga agar perahunya stabil dan tidak menyentuh kapal. Sedangkan seorang lainnya berdiri di atas perahu sambil memegang kain yang berkibar-kibar tertiup angin di tangannya. Ia berteriak-teriak memanggil dan menyebutkan sejumlah uang. Ah! ternyata mereka sedang berjualan!

Saya mengambil kamera saya lalu mulai merekam kejadian unik ini. Kantuk saya hilang seketika. Saya berkomentar pada diri sendiri dengan takjub akan kegigihan mereka dalam menjual barang dagangannya. Bahkan dalam kondisi kapal yang sedang bergerak sekalipun!

Teriakan-teriakan dalam bahasa Inggris sederhana berlogatkan khas Arab menjadikan suasana tambah meriah. Sebuah pertunjukan hebat, menurut saya. Kasihan bercampur takjub. Lalu bagaimana mereka melakukan transaksi dalam keadaan bergerak ini? Saya semakin penasaran. Sambil tertawa sendiri saya berguman, "Ini kejadian langka yang tak kalah misteriusnya dengan masuk ke dalam Piramid! hahaha...!"

Lelah dan kantuk saya sudah hilang sempurna berganti belalak mata penuh binar cahaya seperti seorang anak kecil yang menantikan giliran bermain. Siapa pun yang melihat saya saat itu pasti ikut tertawa. :-)

Tampak sang penjual sedang berteriak - berkomunikasi dengan seorang yang berada di deck atas. Ah gila! Kamar saya ini di lantai 3. Sedangkan orang yang sedang tawar-menawar dengannya berada di deck di atas saya. Setelah saling berteriak dalam waktu lama - saya khawatir suaranya akan serak setelah ini, minimal dia harus siap dengan sekantong penuh permen strepsils. :-) --, mengingatkan saya dengan seseorag... hmm... siapa ya... :-)

Si pedagang dengan sigap mengambil sebuah kantong plastik besar, membungkus kain yang dijualnya. Lalu dengan bidikan jitu melempar bungkusan plastik itu ke atas. Ah! ketepatan yang luar biasa. Lalu pembeli yang di atas memasukkan uang ke dalam plastik yang sama, melemparnya ke bawah. Dan hop! dapat! Satu transaksi selesai!

Satu transaksi ini telah membawa perahu pedagang berkilo-kilo meter jauhnya dari tempat awal mereka. Aksi akrobat yang terjadi tidak merubah apa pun; pembeli tetap menawar, dan penjual tetap mempromosikan barang dagangannya satu per satu dengan gigih.

Kira-kira total 2 jam akhirnya mereka melepas tambatan mereka dan lepas dari pandangan. Luar biasa. Anda bisa melihat hasil rekaman video-nya di bawah ini.
   





Pemandangan dari atas kapal Sonesta Moon Goddess (panoramic views).



 Pemandangan dari atas kapal



27 March 2017, Edfu

Kira-kira puku 1 pagi, kami tiba di kota Edfu. Edfu atau nama aslinya Behdet adalah sebuah kota kecil bagian dari wilayah kegubernuran Aswan, yang kami singgahi dalam pelayaran kami. Di kota ini terdapat sebuah kuil besar yang terkenal, yaitu Edfu Temple of Horus (Kuil Horus Edfu atau disingkat Kuil Edfu). Kuil ini berjarak beberapa kilometer dari tempat kapal kami berlabuh. Pagi hari setelah sarapan, kami mengunjungi kui ini. Tidak ada kendaraan umum untuk mengunjungi kuil selain kereta kuda, yang disebut Kalleshes. Sehingga kami pun menaiki kereta kuda ke kuil Edfu.

Sampai di sini seharusnya anda sudah memahami bahwa peradaban kuno Mesir dimulai di selatan (Upper Egypt). Maka semakin ke Selatan usia kota yang kita singgahi adalah semakin tua. Termasuk kota Edfu ini yang sudah ada sejak zaman pre-dynastic. Namun kurang banyak yang dapat digali di kota-kota ini karena sudah terlalu banyak pembangungan-pembangungan dilakukan di atas bangunan lama saling tindih-menindih.

Di luar kota Edfu masih ditemukan peninggalan bersejarah, seperti Piramid-piramid yang berasal dari Dinasti Ke-3. Penemuan situs-situs di seluruh negeri Mesir ini tidak akan pernah berhenti, karena sepanjang tahun masih saja terus ditemukan situs-situs bersejarah baru.

Kuil Edfu ini didedikasikan untuk Dewa Horus. Kuil ini dibangun di masa Ptolemaic (New Kingdom). Ptolemaic adalah raja/Firaun yang bukan keturunan asli Mesir. Ia adalah keturunan bangsa Yunani. Tampak gaya arsitektur kuil ini sudah banyak mengadopsi gaya Yunani - yaitu ujung pilar yang tidak polos, melainkan berbentuk kelopak bunga.

Terdapat pula ukiran yang mengisahkan dengan lengkap perseteruan antara Horus dan Seth - kisah yang terkenal dalam mitologi Mesir


Kiri dan Tengah: Gerbang kuil, tampak dari depan. Kanan: Courtyard setelah gerbang utama.



Courtyard (panoramic view)



Horus






27 March 2017, Kom Ombo

Kom Ombo adalah sebuah kota yang kami singgahi setelah Edfu di dalam pelayaran kami. Kota ini lebih ke selatan dan sudah dekat dengan kota Aswan. Nama aslinnya adalah Nubt, yang berarti The City of Gold (Kota Emas). Di sini terdapat kuil besar - Kuil Kom Ombo. Kapal kami berlabuh tepat di depan kuil, pada sore hari.

Walaupun seperti yang saya singgung di atas, kota ini termasuk kota di selatan (Upper Egypt) yang berusia sangat tua, namun bangunan-bangunan kuil yang masih bertahan dan kita temui, dibangun di zaman Ptolemaic (New Kingdom) yang sudah kental dengan pengaruh kebudayaan Yunani, seperti kuil Kom Ombo ini. Ditambah lagi kuil ini pun mengalami ekspansi pembangunannya di masa penjajahan Romawi. 

Kuil ini unik karena memiliki desain ganda. Setiap ruangan terduplikasi secara simetris yang masing-masing terletak di Selatan dan Utara kuil. Hal ini dikarenakan kuil ini diperuntukkan untuk dua kelompok dewa-dewi. Di Selatan didedikasikan untuk dewa Sobek (dewa dengan kepala buaya, adalah dewa untuk kesuburan), Hathor, dan KonshuSedangkan di Utara adalah untuk dewa Horus, Tefnut, dan Panebtawy.

Sebagian kuil pernah runtuh diguncang gempa bumi. Dari reruntuhannnya, kita dapat melihat lapisan bagian dalam dari blok-blok batu yang menyusun bangunan ini. Bagian dalam batu dibuat lebih kasar untuk dapat saling menempel dengan batu di sebelahnya. Dari pandangan mata saya, hal ini menunjukkan telah ditemukannya bahan perekat (semen) di masa itu. Juga antara batu yang satu dengan yang lain terdapat celah kuncian (interlocking) yang tadinya berisi logam cair yang dituang ke lubang kuncian tersebut sehingga antara batu yang satu dengan yang saling mengunci. Teknologi ini ditemukan pula di bangunan-bangunan lain di Mesir, termasuk pada piramid. Dan tidak hanya di Mesir, sistem interlocking dan kuncian antar batu dengan logam ditemukan pula di situs Pumapunku, Bolivia.

Di Kom Ombo ini terdapat pula sebuah struktur bangunan mirip sumur yang digunakan untuk mengukur tinggi muka air sungai Nil menjelang banjir tahunan. Bangunan ini dinamakan Nilometer. Menurut keterangan DR. Carmen Boulter, Nilomeer ini digunakan oleh para Pendeta Amun untuk memperkirakan seberapa besar banjir yang akan diterima oleh rakyat Mesir - sehingga dapat diperkirakan seberapa banyak panen yang akan dituai tahun itu, dan pajak (50%) yang harus dibayarkan oleh rakyat kepada Pendeta Amun.






Nilometer





28 March 2017, Aswan

Setelah melewati malam di atas sungai Nil, kami berlabuh di kota perhentian terakhir. Aswan (nama asli: Swenett). Inilah kota paling selatan yang dapat ditempuh oleh kapal seperti yang kami tumpangi karena dibangunnya bendungan besar yang menutup sungai Nil di selatan daerah Aswan.

Oleh karena satu hal penting, di Aswan ini saya, Hilmy dan EC tidak turut serta bersama anggota tour yang lain untuk mengunjungi dua situs di sini, yaitu kuil Isis dan Hathor di puau Philae. Di pulau ini Isis memiliki kuilnya sendiri. Kemudian kuil Kalabsha yang dibangun untuk raja Amenhotep II, kakek dari Akhenaten.

Kami bertiga menghabiskan waktu beristirahat di dalam kapal kemudian pukul 10 pagi check-out dan pindah ke hotel Movenpick, melanjutkan istirahat kami di hotel indah itu. Movenpick adalah sebuah hotel yang sangat indah, berlokasi di tengah-tengah sebuah pulau bernama Elephantine. Pulau ini sangat terkenal di masa Mesir Kuno hingga sekarang karena di sinilah konon dikisahkan Solon, moyang dari sang Filsuf terkemuka asal Yunani, Plato pernah menuntut ilmu. Di pulau ini pula terdapat Nilometer utama di Mesir.

Di sebarang Timur pulau Elephantine terdapat pusat kota Aswan. Sedangkan di seberang Barat (West Bank) terdapat Aga Khan Mausoleum.  

Kota Aswan dikenal juga dengan pasar rempahnya (spice market). Tampak banyak turis berbelanja rempah di sini.

Semakin ke Selatan, kita semakin banyak bertemu dengan penduduk setempat yang berkulit hitam, mereka adalah suku Nubia - penduduk asli daerah ini yang mendiami wilayah Mesir Selatan dan Sudan Utara.

Dari kapal pindah ke hotel di darat rasanya energi kami ter-recharge penuh kembali. Saya menghabiskan waktu sore yang tenang mengelilingi hotel / pulau ini. Kemudian kami berjumpa kembali dengan teman-teman tour lainnya saat makan malam.

Aswan adalah tempat yang sangat indah. Saya harus mengulangi pernyataan saya ini; Aswan adalah tempat yang sangat-sangat indah! Jika anda berkunjung ke Mesir, Aswan adalah tempat yang wajib anda kunjungi. Saya sungguh-sungguh merasa tak asing dengan tempat ini. Setiap jiwa seakan menyambut saya. Setiap sudut pulau Elephantine yang dikelilingi sungai Nil yang tenang, Felucca yang berlayar pelan menyusuri sungai membelah cahaya matahari yang sedang terbenam, orang Nubia dan Arab yang saling berbincang, tertawa, menyambut dengan senyuman mereka, sayup-sayup alunan melodi musik khas Afrika terdengar di telinga, sungguh membuai dan memanjakan hati.

Keindahan Aswan takkan terlupakan.
Cinta saya telah jatuh padanya.





Panomaric view dari Movenpick



Felucca









29 March 2017, Back to Cairo

Setelah bermalam sehari di Movenpick Hotel, Aswan, kami terbang kembali ke Cairo. Di dalam tour ini kami tidak mengunjungi Abu Simbel. Saya berharap lain kali dapat mengunjunginya.

Masih ada petualangan seru penuh misteri yang akan kami jumpai di Cairo.




Berlanjut ke Part 8


===============
Erianto Rachman


Sebagian Foto dan Video adalah hasil liputan dari Hilmy Hasanuddin.



Tidak ada komentar: